Selasa, 07 Februari 2012

Ujian Nasional.... Ujian Nasional......hhhhhhhmmmm....

Ujian Nasional sudah saya lewati. Berarti berakhir sudah masa SMA-ku. Namun, sistem Ujian Nasional ini tidak mencerminkan keadilan. Meski sudah diberi porsi 60% UN dan 40% sekolah, sangat jelas terlihat bahwa pemerintah masih terlalu mendominasi. Negara seluas Indonesia, negara seheterogen Indonesia, dan pemerintahnya mencoba menyamaratakan kemampuan warganya. Sepertinya ada unsur sosialisme di sini. Dari tahun-tahun sebelumnya, UN ini sepertinya menjadi masalah yang tidak pernah selesai-selesai dibahas, dan setiap tahunnya pasti ada sebuah “perubahan” kecil, entah itu jumlah paket, sistem, atau jumlah ujian. Setiap tahunnya, ada saja berita-berita tentang UN yang menonjol, seperti kebocoran soal, kecurangan, soal tertukar, dan masih banyak lagi. Kenyataan sudah seperti ini, apakah pemerintah mau meneruskan UN lagi?
1. Dominasi pemerintah?
    Ketetapan pemerintah yang membuat UN menjadi sebuah standar kelulusan membuat UN seolah menjadi “final boss” bagi setiap pelajar yang mau meneruskan pendidikannya. Padahal, seharusnya UN menjadi sebuah alat pemetaan atau evaluasi. Pertama biar saya jelaskan apa perbedaan standar dan evaluasi.
    STANDAR adalah suatu kondisi yang digunakan sebagai sebuah indikator mengenai tercapainya sesuatu. Sesuatu produk dikatakan layak pakai apabila sudah memenuhi standar. Jadi, produk yang tidak memenuhi standar akan dibuang.
    EVALUASI adalah sebuah pemetaan. Apa yang dipetakan? Dalam hal ini, kemampuan siswa. Sebuah evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan seseorang. Jika ternyata hasil evaluasinya buruk, maka pengevaluasi perlu mencari tahu di mana letak masalahnya.
    Sudah jelas perbedaan antara standar dan evaluasi? Jadi, sebenarnya tujuan UN bukan untuk menentukan siswa lulus atau tidak, melainkan sebagai alat ukur mutu pendidikan di Indonesia. Namun, sepertinya pemerintah salah persepsi dalam pelaksanaan UN. Para birokrat yang terlalu sibuk mempertebal kantong dan perut mereka sendiri di atas mana tahu kenyataan di lapangan? Mereka mungkin tidak tahu tentang banyaknya sekolah rusak di Indonesia atau kekurangan tenaga pengajar di daerah pelosok.
    2. Sebuah standar yang tidak akan pernah jadi standar
    Pemerintah ngotot menjadikan UN sebagai standar kelulusan. Padahal, agar UN bisa jadi syarat kelulusan, maka semuanya harus sama rata sama rasa dulu. Semua sekolah harus dibangun sama, siswa diajari materi yang sama, dan semua guru harus memiliki kompetensi. Sama semua? Ada ciri sosialis di sini kan.
    Kalau anda lihat perbedaan nilai yang begitu jauh antara siswa di kota dan di desa, maka bagaimana bisa UN menjadi standar kelulusan? Bukannya terlalu maksa, jika siswa di desa diharuskan memiliki kompetensi yang sama dengan siswa di kota padahal beda fasilitas mereka bagai langit dan bumi?

    3. UN mengajarkan kecurangan loh!
      Iya benar. Setiap pelaksanaan UN selalu saja terdengar berita kecurangan. Entah kunci jawaban beredar, pemakaian ponsel, pembentukan tim sukses, dan masih banyak lainnya. Padahal, sebenarnya tidak perlu begitu. Kebijakan pemerintah yang menjadikan UN sebagai salah satu standar kelulusan membuat siswa begitu. Mereka tidak salah. Mereka juga mengkhawatirkan masa depan mereka dan uang yang sudah diinvestasikan orang tua mereka selama 12 tahun pendidikan. Pemerintah bertindak seperti penentu nasib mereka, padahal pemerintah tidak pernah ikut campur di lapangan mengajar siswa-siswa. Yang ada di lapangan hanyalah guru-guru yang susah payah mengajar dengan upah minimum, sementara atasan mereka diam di belakang meja dan hanya melihat data di atas kertas.
      Oke kembali lagi ke kecurangan selama UN. Pola pendidikan Indonesia terlalu mengagungkan nilai tes sebagai parameter kompetensi. Tapi jika hanya nilai tes saja yang diperhitungkan, buat apa sekolah dan belajar banyak hal? Kan lebih baik belajar yang akan keluar saat ujian saja. Enak kan, sekaligus mengurangi banyak waktu di sekolah, tidak perlu sampai satu tahun belajar. Ajarkan saja materi yang akan keluar saat tes semester, lalu saat selesai lakukan tes semester. Sudah cukup, jadinya tidak perlu menunggu lama-lama lulus.
      Tapi itu sangat bodoh. Dan menghilangkan makna belajar itu sendiri. Indonesia masih mengagungkan nilai ujian semata, bukan prosesnya, bukan bagaimana cara siswa dapat memperoleh nilai tersebut. Padahal nilai ujian itu datangnya bisa dari berbagai sumber, contek kanan kiri, hape, dan kertas kecil.
      Dan ironisnya, sesaat sebelum UN, keluar pepatah “Menang lebih terhormat daripada kalah” dari seorang guru. Guru juga yang secara halus menyuruh siswanya kerja sama untuk menghadapi UN. Nah, gimana pemerintah? Masih mau mengadakan UN? Bukannya dengan UN, akan menambah jumlah mental korup?
      4. UN tidak mencerminkan kemampuan?
      Coba anda perhatikan apa saja materi yang keluar dalam UN. Semuanya materi yang sangat umum. Jadi, selama 3 tahun belajar, ternyata tidak semua materi yang diajarkan kepada siswa itu keluar. Lantas buat apa sekolah lama-lama? Bukannya lebih baik mempelajari materi buat UN saja, lalu langsung UN?
      Metode UN hanya menonjolkan kemampuan kognitif saja, kemampuan psikomotorik dan afektif entah ke mana dibuang. Dan dengan dipakainya mesin scanner, lengkap sudah. Kelulusan diserahkan kepada sebuah mesin yang bisa dibeli di toko komputer dengan harga jauh lebih murah daripada gaji seorang guru. Bukannya lebih efisien jika tidak perlu ada guru sekalian? Yang diperlukan cuma nilai saja kan? Jadinya tinggal beli scanner saja.
        Yang tahu kemampuan siswa hanyalah gurunya, orang yang paling dekat dengannya. Bukan pejabat yang sibuk pelesiran ke luar negeri. Ibaratnya seorang dokter dengan pasiennya, hanya guru yang berhak memvonis kapan siswa itu lulus apa tidak, BUKAN sebuah mesin scanner.
        Oh ya, sistem UN yang berupa pilihan ganda juga tidak bisa mencerminkan kemampuan siswa. Karena pilihan ganda bisa saja jawabannya didapat melalui kode Morse dengan teman di sebelah, hape yang disembunyikan di balik baju, atau kertas sakti di dalam kotak pensil, atau hanya sekedar hoki-hokian.
      Mungkin sudah terlalu lama UN dipermasalahkan. Tapi, setelah dipikir-pikir, masih perlukah UN dilanjutkan? Berita kecurangan semakin banyak dan selalu saja ada kasus soal rusak. Pemerintah masih saja melanjutkan UN yang selalu saja menuai kontroversi. Daripada lama-lama ribut, apakah lebih baik UN ditiadakan saja? Coba tanya pejabat kita dulu yuk, mereka kan pinter-pinter semua soalnya sering jalan-jalan ke luar negeri study banding. Eh, ga jadi deh, mereka lagi sibuk membangun gedung yang tidak ada nilai artistiknya dibandingkan Arc de Triomphe di Prancis (mungkin saja idenya dari sana ya). Kalau begitu coba kita tanya pendidik Indonesia yang sudah dibuat pusing tujuh keliling oleh UN. Tunggu, mereka lagi pusing karena UN masih ada dan mereka tidak bisa melawan keputusan pemerintah meski sudah pernah menggugat sampai Mahkamah Agung. Kalau begitu, bagaimana dengan Pak Menteri yang kita hormati? Nah, bagaimana Pak? Anda memiliki sebuah pena di tangan anda dan kertas di meja anda. Anda bisa menjadi pahlawan pelajar Indonesia bila mau membatalkan UN. Anda bisa dikenang sepanjang masa sebagai pahlawan yang membebaskan pelajar Indonesia dari rezim UN. Yang anda perlu lakukan hanya menulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar